ilustrasi truk angkut buah sawit
JAKARTA , SAWITSUMATERA.ID— Kabar baik datang dari industri sawit nasional. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyatakan bahwa peluang Indonesia untuk kembali menikmati tarif ekspor 0 persen ke Amerika Serikat (AS) masih terbuka lebar. Menurut Eddy, secara historis, sawit Indonesia pernah dikenakan tarif nol persen di pasar Amerika. Posisi strategis Indonesia sebagai produsen terbesar dunia menjadikannya pemain kunci dalam rantai pasok minyak nabati global.
BACA JUGA:IPOC 2025, GAPKI Dorong Tata Kelola dan Daya Saing Industri Sawit berkelanjutan
“Dulu memang 0 persen. Indonesia punya pangsa pasar sawit sekitar 89,9 persen. Amerika tidak bisa memproduksi sawit sendiri, jadi mereka tetap membutuhkan kita,” jelas Eddy, Kamis (31/10/2025). Eddy menilai, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat selama ini bersifat saling menguntungkan (mutual benefit). Permintaan sawit dari pasar Amerika cukup tinggi, terutama untuk kebutuhan industri pangan dan kosmetik.
BACA JUGA:Harga TBS Mitra Plasma Riau Turun, Per Kilonya Menjadi Rp 3.653,60, Ini Daftar Harganya
Namun, ia menekankan pentingnya prinsip timbal balik (take and give) dalam negosiasi perdagangan. Indonesia perlu menawarkan hal lain untuk menciptakan kesepakatan yang seimbang. “Kita bisa manfaatkan komoditas lain, misalnya impor kedelai dari AS atau pembelian pesawat Boeing. Dengan cara ini, kesepakatan tarif 0 persen jadi lebih realistis,” tegas Eddy.
BACA JUGA:TBS Kelapa Sawit Jambi Turun Lagi, Ini Daftar Harga TBS 31 Oktober-6 November 2025
Menurutnya, langkah ini logis dan layak diperjuangkan kembali agar sawit Indonesia mendapat posisi yang setara dengan Malaysia di pasar global. Meski peluangnya besar, Ekonom Bidang Pertanian CORE Indonesia, Eliza Mardian, mengingatkan bahwa menurunkan tarif ekspor hingga nol persen bukan perkara mudah.
BACA JUGA:BPDP Gelar Kuliah Umum Serentak di Enam Kampus Sumatera Utara
“Pengalaman menurunkan tarif resiprokal dari 32 persen ke 19 persen saja sudah penuh kompromi. Untuk mencapai 0 persen, pasti ada konsekuensi atau trade-off yang harus diperhitungkan,” jelasnya. Eliza mencontohkan, Malaysia memang mendapat tarif 0 persen, namun harus menanggung sejumlah komitmen dagang dalam bentuk pembelian produk Amerika bernilai besar.
Ia menilai, pasar Amerika sebenarnya tidak sebesar potensi pasar global lain, sehingga Indonesia perlu berhitung cermat sebelum memutuskan strategi negosiasi. “Lebih baik fokus memperkuat pasar potensial lain ketimbang memaksakan 0 persen di AS. Semua keputusan harus berbasis data dan memastikan tidak ada sektor domestik yang dikorbankan,” tambahnya.
BACA JUGA:Kontribusi Industri Minyak Sawit Atasi Masalah Kemiskinan Dunia
Dari sisi pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa negosiasi tarif impor sawit ke AS akan dimulai pada November 2025, usai pertemuan APEC. Dalam rencana tersebut, pemerintah menargetkan agar tiga komoditas strategis sawit, kakao, dan karet dapat memperoleh tarif 0 persen, setara dengan Malaysia.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi diplomasi ekonomi Indonesia untuk memperkuat posisi di pasar global dan mendorong ekspor produk unggulan bernilai tambah tinggi. Dengan peluang yang masih terbuka, negosiasi tarif sawit Indonesia–AS kini menjadi sorotan utama bagi pelaku industri dan pembuat kebijakan.
Namun, tantangan tetap ada: setiap upaya menurunkan tarif harus mempertimbangkan dampak lintas sektor dan kepentingan nasional jangka panjang. Jika berhasil, Indonesia bukan hanya akan meningkatkan ekspor sawit ke AS, tetapi juga menegaskan posisi sebagai pemimpin global sawit berkelanjutan, yang tidak hanya kompetitif, tetapi juga berdaulat di pasar internasional. (*)